Memperhatikan Suara AS soal Papua Barat
Thursday, 14 October 2010
Sebelum Papua terkena bencana banjir, Papua sudah menjadi isu penting yang mendapat perhatian dari seorang Kongres Amerika Serikat (AS) Eni Faleomavaega dari Amerika Samoa.
Eni adalah seorang yang menjadi pengamat buruknya keadaan rakyat Papua sejak Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia sesuai persyaratan PBB pada 1963.Atas bujukan Pemerintah AS yang masih berperang di Vietnam dan perlu bantuan “moril”Indonesia, resolusi PBB dikompromikan yang bermanfaat untuk RI yaitu Papua diserahkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu seperti yang diterapkan Resolusi PBB Nomor 1752 dan 2504 yang juga dikenal sebagai “New York Agreement“. Perjanjian ini dibuat dan disetujui RI dan Kerajaan Belanda pada 1962. Untuk orang Indonesia, Papua lama dikenal dengan nama IRIAN yang merupakan akronim dari “Ikut Republik Indonesia,Anti Nederlands”.Jadi kata ini sebenarnya tidak ada konotasi etnik atau suku. Keputusan untuk kembali memakai label Papua Barat sangat benar. Papua Barat ini adalah daerah yang sangat kaya hasil buminya seperti emas, tembaga, perak, dan bahkan akhir-akhir ini ada penemuan uranium yang merupakan bahan baku yang termahal di dunia.Di samping itu juga ada kayu yang diperlukan di berbagai negara.
Belanda pun sadar akan kekayaan hasil alam di Papua Barat ini. Karena itu, setelah Belanda kalah, masuklah perusahaan pertambangan dari AS yang dikenal dengan nama “Freeport McCoran Inc.”Perusahaan besar seperti Freeport ini biasanya banyak sekali pengaruh politiknya di AS dan Kongres.Tidak heranlah perjuangan kemerdekaan Papua mendapat perhatian banyak di AS. Bekali-kali anggota Kongres secara perseorangan atau sebagai pejabat Kongres resmi menunjukkan simpati terhadap keadaan pelanggaran hak asasi dan perikemanusiaan di Papua sejak lepas dari Belanda.
Pandangan Negatif
Lima tahun yang lalu penulis sudah mengingatkan Pemerintah RI untuk lebih waspada melalui artikel “Waspadai Black Caucus dan Papua” (Kompas, 19/9/2005).Tapi, pemerintah RI rupanya tidak mengambil langkah-langkah untuk meredakan persoalan di Papua. Tahun ini anggota Kongres Amerika Eni Faleomavaega, salah satu pendukung kesejahteraan Papua,membuat testimoni di muka komite Kongres yang beliau ketuai. Di Komite House Foreign Affairs subkomite soal Asia, Pasifik, dan lingkungan hidup global ini, Eni menuduh Pemerintah RI telah melakukan aksi kriminal “against humanity and genocide”di Papua dan tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat di provinsi itu.
Pemerintah AS, melalui US Department of State/Kementerian Luar Negeri AS, juga memberikan testimoni yang sangat supportive untuk Papua. Deputi Menteri Joe Yun untuk Asia and Pacific Affairs pada 22 September yang lalu itu mengecamkan penting kebebasan hak asasi Papua yaitu antara lain “right of peaceful assembly, free expression of political view, and fair non-discriminating treatment of ethic Papua.” Meskipun AS tidak mendukung separatisme,Deputi Yun menekankan betapa pentingnya suara orang Papua di pemerintahan otonomi khusus dalam pemerintahan daerah. Yun menganjurkan agar Pemerintah RI memberikan keleluasaan bagi diplomat-diplomat,anggota NGOs,dan delegasi parlementer luar negeri untuk mendapat akses ke Papua.
Yun juga menyebut jumlah bantuan USAID sejumlah USD11.6 juta untuk memberantas iliterasi, HIV/AIDS, dan kemiskinan. Dia menggambarkan bahwa sekarang sudah ada 22 mahasiswa Fulbright dan 18 mahasiswa Fulbright-Freeport. Ditambahkan juga di testimoni ini bahwa Duta Besar AS yang baru untuk Indonesia akan dikirim ke Papua untuk meninjau keadaan di situ.Testimoni ini ditutup dengan statementyang sangat menarik. Dia mengatakan betul bahwa pada umumnya perlindungan HAM sudah membaik di Indonesia, akan tetapi AS sangat prihatin (concern) dengan pelanggaran HAM di Papua.
Promosikan Kemajuan
Menarik kalau kita melihat kutipan (excerpt) surat Duta Besar Indonesia di AS,Dino Patti Djalal, yang ditujukan kepada anggota Kongres Eni yang dimuat Jakarta Post (29/9). Isinya sangat tidak terarah secara spesifik pada isu-isu yang disebutkan oleh suara-suara AS terutama pelanggaran HAM di Papua. Tidak perlulah Pak Dino menjelaskan mengenai ada kelompok yang memanipulasi Kongres Amerika untuk mendukung usaha separatisme di Papua dan demokratisasi otonomi yang berjalan baik di Papua. Yang perlu Pak Dino uraikan secara konkret adalah fakta ada penegakan HAM dan perbaikan hidup di Papua sejak RI memberikan status pemerintah otonomi khusus.
Fakta ini akan dapat meluruhkan sikap skeptis di Kongres dan golongan-golongan tertentu yang simpati dengan usaha separatis Papua.Perlu kita di Indonesia ini sadari bahwa “pressure politics in America is real and a way of life”. Inilah kerjanya para pelobi di AS. Perlu diingatkan kalau lima tahun lalu,Kongres Eni mendapat support dari grup Black Causus saja, sekarang beliau pengaruhnya sudah melebar ke grup-grup penting di Kongres seperti Hispanic Caucus, ASIAN Caucus,dll. Selain suara di AS yang terdengar mengenai isu Papua, juga suara intelek di berbagai negara seperti Kanada,Australia, Belanda, Inggris, dll. Mereka ini berdiskusi dalam berbagai forum dan simposium mengenai Papua.
Ada juga usul dari Unrepresented Nations and Peoples Organization di Den Haag yang mengusulkan agar PBB membawa kasus Papua ke Pengadilan Tinggi Sedunia (International Court of Justice) untuk mendapat “advisory opinion”mengenai “New York Agreement” yang ditandatangani RI dan Kerajaan Belanda pada 1962. Barubaru ini negara Melanesia Vanuatu juga membuat petisi agar kasus Papua Merdeka dibawa ke Pengadilan Tinggi Sedunia untuk diselesaikan secara hukum.Isu Papua harus mendapat perhatian dari Pemerintah RI yang lebih besar agar supaya jangan terulangnya peristiwa Timor-Timur.
Hingga kini orang Papua masih bersabar dan berharap untuk berdialog dengan pemerintah pusat untuk mencari jalan damai. Keinginan ini diserukan oleh West Papua National Liberation Coalition yang semakin hari bertambah besar anggotanya. Bencana banjir Wasior bisa menjadi kesempatan untuk pemerintah pusat untuk membuka kesempatan mengadakan dialog yang konstruktif dan produktif untuk membangun Papua di bidang pendidikan,pelayanan kesehatan, pertambangan, kehutanan, dan lingkungan hidup di provinsi itu. Janji Pak SBY untuk merevitalisasi dan merehabilitasi daerah yang terkena bencana banjir harus dilaksanakan dengan anggaran yang cukup memadai.
Kalau Hillary Clinton dapat menyampaikan condolence dan keprihatinannya begitu terjadi tragedi banjir, kenapa Pak SBY terlambat berbuat yang sama? Kunjungan SBY dapat digunakan untuk membangun rasa baik atau good will dari orang Papua dengan menunjukkan secara tulus bahwa pemerintah pusat akan berpegang pada konsep “ex aequo et bono” (fair and justice) dalam memecahkan perselisihan dan keluhan dengan Papua dan pemerintah otonomi khusus Papua di kemudian hari. Ini perlu dibuktikan SBY secara cepat dengan hasil yang memberikan kesejahteraan dan hidup baru di Papua dan bukan janji kosong yang orang Papua sudah dengar sebelumnya.
Bersamaan dengan ini,SBY juga harus ambil langkah yang tegas bagi pelanggaran HAM di Papua.Pelanggaran HAM dan pengeksploitasian hasilbumi olehFreeportharusmendapat kecaman yang tegas dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, Pemerintah RI dan Freeport harus menghormati hak asasi, kultur,dan adat Papua. Ketidakpuasan orang Papua terhadap pelakuan pemerintah pusat dapat dimengerti karena bagaimana rasanya mempunyai provinsi yang terkaya dalam hasil bumi,tapi orang-orangnya yang termiskin dan rendah pendidikan dan pembangunan infrastrukturnya. Pak SBY,this your chance to show leadership in Indonesia and Papua reconstruction.(*)
Edo Quiko Penasihat Rektor UI, Profesor Emeritus College of The Ozarks Amerika Serikat
Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/357524/ |
No comments:
Post a Comment