Saturday 23 October 2010

Siaran Pers Bersama: NEGARA ABAI PADA PERLINDUNGAN PEMBELA HAM DAN KASUS-KASUS KEKERASAN DI PAPUA

by Poengky Indarti on Friday, October 22, 2010 at 6:32pm
SIARAN PERS BERSAMA
NEGARA ABAI PADA PERLINDUNGAN PEMBELA HAM DAN KASUS-KASUS KEKERASAN DI PAPUA



Tiga tahun setelah kedatangan Wakil Khusus Sekjen PBB untuk Situasi Pembela HAM Ibu Hina Jilani ke Papua pada bulan Juni 2007, situasi para Pembela HAM di Papua tidak mengalami perubahan.[1] Aparat keamanan, antara lain polisi, militer dan intelejen masih saja melakukan kekerasan terhadap Para Pembela HAM di Papua.[2] Target kekerasan adalah perorangan maupun organisasi yang melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah, mulai dari aktivis Dewan Adat Papua hingga para pemimpin agama.[3] Meskipun kekerasan tersebut telah dilaporkan kepada Pemerintah, tetapi kekebalan masih saja menyelimuti aparat yang melakukan pelanggaran terhadap para Pembela HAM di Papua.[4]

Di tahun 2010, tuduhan melakukan tindakan makar[5] masih digunakan oleh aparat kepolisian di Papua untuk membungkam gerakan mahasiswa.[6] Di sisi lain, Pemerintah juga menggunakan stigma separatis untuk menjustifikasi kekerasan yang dilakukan aparat terhadap Para Pembela HAM Papua[7].

Berbagai kekerasan terhadap Para Pembela HAM di Papua antara lain pada tanggal 15 Januari 2010, Pemerintah mengumumkan pelarangan buku tulisan Pendeta Socrates Sofyan Yoman berjudul “Suara Gereja bagi Umat Tertindas” dengan alasan buku tersebut dianggap mengadu domba dan membahayakan NKRI.

Ancaman kekerasan terhadap para jurnalis di Papua juga meningkat di tahun 2010 ini. Kami mencatat setidaknya ada 5 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua pada tahun 2010 ini[8]. Pada bulan Juli 2010, Ardiansyah Matrais, jurnalis Merauke TV dan Tabloid JUBI ditemukan meninggal dunia setelah sebelumnya yang bersangkutan merasa dibuntuti dan menerima ancaman setelah meliput pembalakan liar di Keerom.

Kami menganggap bahwa Pemerintah hingga saat ini masih belum memberikan perlindungan bagi para Pembela HAM di Papua untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Hal ini diperparah dengan masih melekatnya stigma separatis terhadap para Pembela HAM di Papua sehingga kondisi Pembela HAM di Papua rentan dengan berbagai macam tindakan kekerasan, antara lain: memata-matai aktivitas para Pembela HAM, melakukan ancaman dan teror kekerasan (sms akan dibunuh, sms fitnah, dsb), pembatasan untuk dapat melakukan pemantauan pelanggaran HAM di lapangan (kasus kekerasan di Puncak Jaya, dsb), hingga pembunuhan[9].

Laporan-laporan dari para Pembela HAM bahwa di Papua masih sering terjadi kekerasan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat sipil, juga tidak pernah ditanggapi secara serius oleh Pemerintah. Pada bulan Mei 2008 lalu, sejumlah organisasi HAM di Papua dan Jakarta telah melaporkan bahwa sedikitnya ada 290 kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat militer dan kepolisian di Papua pada kurun waktu 1997-2007[10], tetapi hingga saat ini tidak pernah ada upaya Pemerintah untuk menindaklanjuti laporan-laporan tersebut, hingga beredarnya video penyiksaan yang diduga dilakukan aparat BRIMOB terhadap Yawan Wayeni dan penyiksaan yang diduga dilakukan aparat TNI AD di Puncak Jaya baru-baru ini.

Oleh karena itu kami selaku para Pembela HAM di Papua dan Jakarta menyatakan sikap sebagai berikut:

1.     Menuntut adanya perlindungan yang serius terhadap kerja-kerja para Pembela HAM di Indonesia dan untuk selanjutnya mendesak Presiden dan DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pembela HAM;

2.     Mendesak Presiden untuk memerintahkan kepada jajarannya dalam upaya perlindungan kepada Para Pembela HAM di Indonesia, khususnya di Papua, agar melaksanakan rekomendasi Special Representative for the UN Secretary General on the Situation of Human Rights Ms. Hina Jilani;

3.     Mendesak Presiden untuk memerintahkan kepada jajarannya dalam upaya menghapus penyiksaan di Indonesia, agar melaksanakan rekomendasi Komite Anti Penyiksaan PBB;

4.     Mendesak Presiden untuk memerintahkan kepada Panglima TNI dan Kapolri agar memberikan perlindungan kepada para Pembela HAM, khususnya yang berada di daerah konflik seperti Papua, supaya dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, serta memproses laporan-laporan kekerasan yang terjadi di Papua dan menindak tegas para pelakunya berdasarkan hukum yang berlaku;

5.     Mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk dapat bekerjasama dengan baik guna percepatan pemrosesan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, antara lain kasus Wasior-Wamena yang hingga saat ini masih menggantung;

6.     Mendesak pelibatan Komnas HAM dalam investigasi kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan yang diduga dilakukan aparat militer, polisi dan intelejen;

7.     Mendesak DPR untuk melakukan pengawasan kinerja aparat kepolisian, militer dan intelejen dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam operasi-operasi yang dilaksanakan di Papua agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM.


Jakarta, 22 Oktober 2010


IMPARSIAL, KONTRAS, FOKER LSM, SKP KC JAYAPURA, SKP KEUSKUPAN AGUNG MERAUKE, HUMI INANE (SUARA PEREMPUAN) WAMENA, LP3BH MANOKWARI,  BUK JAYAPURA & WAMENA, JAPH & HAM WAMENA.


[1] Lihat Laporan Ibu Jilani tentang Kunjungan ke Indonesia A/HRC/7/28/Add.2, tanggal 28 Januari 2008. Dalam laporan tersebut beliau menyimpulkan bahwa meskipun tampak ada kemajuan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, tetapi para pembela HAM masih saja mengalami ketidakleluasaan yang serius dalam melakukan aktivitas mereka bagi perlindungan HAM. Ketidakleluasaan itu berhubungan dengan masih berlanjutnya aktivitas polisi, militer, dan aparat keamanan dan intelejen serta kelompok fundamentalis agama yang bertujuan mengganggu dan mengintimidasi para pembela HAM atau membatasi akses mereka pada korban dan pada tempat terjadinya pelanggaran HAM. Kemudian, Wakil Khusus menyoroti kondisi yang buruk dari kelompok pembela HAM yang rentan, misalnya mereka yang membela hak-hak perempuan, lesbian, gay, biseksual, transjender, interseks, orang-orang yang membela hak penderita HIV/AIDS, masyarakat adat dan pekerja Gereja. Akhirnya, Beliau menilai situasi para pembela HAM di propinsi Papua dan Aceh. Beliau menyimpulkan bahwa suasana ketakutan tidak dapat disangkal lagi terjadi (secara umum dan meluas) diPapua, khususnya bagi pembela HAM yang bekerja untuk memajukan hak-hak masyarakat Papua untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan, kontrol sumber daya alam dan demiliterisasi di Papua. Situasi para pembela HAM di Papua ini tampak tidak menyenangkan, dan meskipun UU Otonomi Khusus sudah diberlakukan sejak tahun 2001, aktivitas para pembela HAM yang dijamin UU untuk dapat melindungi hak asasi manusia masih saja menjadi target. Keprihatinan Wakil Khusus mengenai situasi para pembela HAM di Papua berlanjut dan diartikulasikan dalam laporan ini, pertanyaan ini tetap ada meskipun telah ada jaminan yang telah diberikan oleh otoritas kepolisian dan militer di Papua kepada Beliau bahwa tidak ada kebijakan institusi yang menjadikan para pembela HAM sebagai target.

[2] Lebih dari 5 negara memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap situasi para Pembela HAM di Papua. Lihat laporan Kelompok Kerja Komisi HAM PBB tentang UPR (Universal Periodic Review) A/HRC/WG.6/1/IDN/4, 15 April 2008.

[3] POLDA Papua menyerbu kantor Dewan Adat Papua pada bulan April 2009 dan menangkap 17 mahasiswa yang berada di sana dengan tuduhan melakukan upaya makar dan membawa senjata api dan senjata tajam. Setelah melalui proses interogasi, polisi akhirnya menahan 3 orang mahasiswa dengan tuduhan membawa senjata tajam dan senjata api.   

[4]Pemerintah jarang sekali melakukan upaya memproses hukum tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, terlebih lagi di Papua yang sudah dilabeli sebagai daerah separatis. Oleh karena itu pelanggaran HAM terhadap para Pembela HAM maupun masyarakat sangat jamak terjadi di Papua. Label separatis tersebut justru digunakan sebagai pembenar bagi penggunaan kekerasan aparat dengan alasan untuk membasmi separatisme.

[5] Pemerintah kolonial Belanda menggunakan pasal 104-110 KUHP tentang makar untuk menindas gerakan kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, pemerintah justru menggunakan pasal-pasal warisan kolonial tersebut untuk menindas gerakan rakyat yang mengkritik pemerintah. Pasal-pasal makar biasanya diterapkan di Aceh, Maluku dan Papua yang dicap separatis oleh pemerintah. Akhir-akhir ini pemerintah juga mulai menggunakan pasal-pasal UU teroris (lihat kasus pemidanaan juru runding GAM).  

[6] Sejak kekerasan yang terjadi di depan Universitas Cenderawasih yang menewaskan 5 aparat pada tahun 2006, aparat mulai melakukan pengejaran terhadap kelompok-kelompok mahasiswa di Papua dan melabeli mereka sebagai simpatisan OPM.

[7] Pemerintah tidak melaksanakan amanat UU Otsus secara konsisten, bahkan Pemerintah mulai menggerogoti UU Otsus dengan melakukan tindakan-tindakan antara lain melakukan pemisahan Papua dengan Irian Jaya Barat dan mengesahkan PP No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang melarang adanya penggunaan simbol-simbol kelompok yang dicap sebagai separatis, antara lain melarang bendera Bintang Kejora di Papua. Semua orang yang membawa atau menyimpan benda-benda yang bergambar bendera Bintang Kejora akan ditangkap dan didakwa makar.   

[8] Berdasarkan database Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) tahun 2010, setidaknya terjadi 5 kasus kekerasan jurnalis di Papua, yaitu pemanggilan POLDA Papua terhadap Lucky Ireeuw, pimpinan redaksi Cenderawasih Pos, setelah Cenderawasih Pos memberitakan pernyataan Pendeta  Rev. Socrates Sofyan Yoman bahwa aparat TNI harus bertanggung jawab terhadap berbagai macam peristiwa kekerasan yang terjadi di Puncak Jaya; Opin Tanati, wartawati KBR 68H di Biak telah diintimidasi oleh ajudan Bupati Biak; Ardiansyah Matrais dari Merauke TV dan Tabloid JUBI telah meninggal dibunuh pada akhir Juli 2010 di Merauke, sementara beberapa jurnalis lainnya antara lain Lidya Salma Achnazyah dari Bintang Papua, Agus Batbual dari Suara Perempuan Papua, Idri Qurani Jamillah dari tabloid JUBI dan Julius Sulo dari Cendrawasih Pos telah diancam menjelang pelaksanaan pemilukada di Merauke; Musa Kondorura, reporter RRI, KBR 68H dan reporter Radio Sasar Wondama di Wasior, telah dianiaya oleh 2 anggota BIN bernama Luki dan Hendra.

[9] Kasus pembunuhan terhadap Opinus Tabuni dari Dewan Adat Papua di Wamena tahun 2008 yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti aparat kepolisian dan kasus pembunuhan terhadap Ardiansyah Matrais di Merauke tahun 2010 yang dinyatakan melakukan bunuh diri oleh Polres Merauke meskipun banyak keganjilan di seputar kasus ini.

[10] Lihat Laporan Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007 yang dilaporkan oleh Imparsial, SKP Jayapura, Sinode GKI Papua, Progressio, dan Franciscans International kepada Pemerintah Indonesia, Special Rapporteur Anti Penyiksaan Manfred Nowak dan Komite Anti Penyiksaan PBB.

Jenazah Opinus Tabuni dari Dewan Adat Papua, kredit foto Dewan Adat Papua 2008

No comments:

Post a Comment